PENGARUH KETERLIBATAN ORANG TUA TERHADAP MINAT MEMBACA ANAK DITINJAU DARI PENDEKATAN STRES LINGKUNGAN
BAB I
PENDAHULUAN
Tiap bulan September diperingati sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan. Melalui peingatan itu diharapkan masyarakat menjadi gemar membaca, khususnya anak-anak Sekolah Dasar (SD); sebab membaca adalah kunci untuk keberhasilan belajar siswa di sekolah. Kemampuan membaca dan minat membaca yang tinggi adalah modal dasar untuk keberhasilan anak dalam berbagai mata pelajaran.
Sejak tahun 1995 sampai sekarang, media massa selalu memuat berita mengenai minat membaca masyarakat, terutama minat membaca anak-anak SD. Misal harian Suara Merdeka menulis tajuk rencana dengan judul Kegemaran Membaca Belum Seperti Yang Diharapkan (Suara Merdeka, 1995). Kompas memuat artikel Rumah Baca, Upaya Menumbuhkan Minat Baca (Kompas, 1995) dan Pikiran Rakyat (2000) melalui tulisan Wakidi yang berjudul Minat Membaca Anak Sekolah Dasar juga ikut prihatin dengan minat membaca anak SD yang rendah. Media elektronik seperti televisi juga ikut menayangkan iklan layanan masyarakat untuk meningkatkan minat membaca.
Tulisan di surat kabar dan tayangan iklan layanan masyarakat di televisi pada intinya menyuarakan kepihatinan terhadap minat membaca anak-anak yang masih rendah. Padahal masalah minat membaca merupakan persoalan yang penting dalam dunia pendidikan. Anak-anak SD yang memiliki minat membaca tinggi akan berprestasi tinggi di sekolah, sebaliknya anak-anak SD yang memiliki minat membaca rendah, akan rendah pula prestasi belajarnya (Wigfield dan Guthrie, 1997).
Hampir tiap tahun orang tua diingatkan untuk menanamkan dan menumbuhkan minat membaca anak melalui media massa, namun keluhan bahwa minat membaca anak tetap rendah masih selalu terdengar. Nampaknya belum ditemukan cara yang efektif untuk melibatkan orang tua dalam menolong meningkatkan minat membaca. Belum banyak diteliti mengenai faktor-faktor yang menentukan bagaimana cara melibatkan orang tua untuk meningkatkan minat membaca anak. Pemahaman terhadap faktor-faktor tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan intervensi yang efektif untuk meningkatkan keterlibatan orang tua dalam menumbuhkan minat membaca anak di keluarga masing-masing.
Kesulitan untuk melibatkan orang tua menjadi makin bertambah pada keluarga dengan sosial ekonomi rendah. Krisis ekonomi, bencana alam dan kerusuhan di beberapa daerah di Indonesia menambah jumlah keluarga miskin sehingga mereka tersisih dari kehidupan kota dan tinggal di kantong-kantong kemiskinan. Mereka sering mengalami pertengkaran dalam masalah keuangan keluarga sehingga mengalami stres tiap hari. Stres ini mkin bertambah tinggi oleh stres kerja, tinggal di daerah kumuh, panas, bising dan sesak, persoalan kegagalan pendidikan anak dan laju kelahiran anak yang sulit dikendalikan. Tumpukan stres ini menyita dan membuang energi orang tua untuk hal yang negatif dan perhatian mereka tidak terpusat untuk terlibat menolong anak dalam membaca sehingga minat membaca anak tidak tumbuh dan berkembang.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka secara berurutan akan dibahas mengenai minat membaca anak, pendekatan stres lingkungan dan yang terakhir pengaruh keterlibatan orang tua terhadap minat membaca anak ditinjau dari pendekatan stres lingkungan.
BAB II
MINAT MEMBACA
A. Minat Membaca Anak
Aktivitas membaca akan dilakukan oleh anak atau tidak sangat ditentukan oleh minat anak terhadap aktivitas tersebut. Di sini nampak bahwa minat merupakan motivator yang kuat untuk melakukan suatu aktivitas.
Secara umum minat dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan yang menyebabkan seseorang berusaha untuk mencari ataupun mencoba aktivitas-aktivitas dalam bidang tertentu. Minat juga diartikan sebagai sikap positif anak terhadap aspek-aspek lingkungan. Ada juga yang mengartikan minat sebagai kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan menikmati suatu aktivitas disertai dengan rasa senang.
Meichati (1972) mengartikan minat adalah perhatian yang kuat, intensif dan menguasai individu secara mendalam untuk tekun melalukan suatu aktivitas.
Aspek minat terdiri dari aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif berupa konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat pada manfaat dari obyek tersebut. Aspek afektif nampak dalam rasa suka atau tidak senang dan kepuasan pribadi terhadap obyek tersebut.
Membaca adalah proses untuk memperoleh pengertian dari kombinasi beberapa huruf dan kata. Juel (1988) mengartikan bahwa membaca adalah proses untuk mengenal kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan. Hasil akhir dari proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan.
Secara operasional Lilawati (1988) mengartikan minat membaca anak adalah suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan perasaan senang terhadap kegiatan membaca sehingga mengarahkan anak untuk membaca dengan kemauannya sendiri. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, kesadaran akan manfaat membaca, frekuensi membaca dan jumlah buku bacaan yang pernah dibaca oleh anak. Sinambela (1993) mengartikan minat membaca adalah sikap positif dan adanya rasa keterikatan dalam diri anak terhadap aktivitas membaca dan tertarik terhadap buku bacaan. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, frekuensi membaca dan kesadaran akan manfaat membaca.
Berdasar pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa minat membaca adalah kekuatan yang mendorong anak untuk memperhatikan, merasa tertarik dan senang terhadap aktivitas membaca sehingga mereka mau melakukan aktivitas membaca dengan kemauan sendiri. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, frekuensi membaca dan kesadaran akan manfaat membaca.
Minat membaca perlu ditanamkan dan ditumbuhkan sejak anak masih kecil sebab minat membaca pada anak tidak akan terbentuk dengan sendirinya, tetapi sangat dipengaruhi oleh stimulasi yang diperoleh dari lingkungan anak. Keluarga merupakan lingkungan paling awal dan dominan dalam menanamkan, menumbuhkan dan membina minat membaca anak. Orang tua perlu menanamkan kesadaran akan pentingnya membaca dalam kehidupan anak, setelah itu baru guru di sekolah, teman sebaya dan masyarakat.
Mulyani (1978) berpendapat bahwa tingkat perkembangan seseorang yang paling menguntungkan untuk pengembangan minat membaca adalah pada masa peka, yaitu sekitar usia 5 s/d 6 tahun. Kemudian minat membaca ini akan berkembang sampai dengan masa remaja.
Minat membaca pertama kali harus ditanamkan melalui pendidikan dan kebiasaan keluarga pada masa peka tersebut. Anak usia 5 s/d 6 tahun senang sekali mendengarkan cerita. Mula-mula mereka tertarik bukan pada isi ceritanya, tetapi pada kenikmatan yang diperoleh dalam kedekatannya dengan orang tua. Ketika duduk bersama atau duduk di pangkuan orang tua, anak merasakan adanya kasih sayang dan kelembutan. Suasana yang menyenangkan dan didukung oleh buku cerita yang penuh gambar-gambar indah akan membuat anak menjadi tertarik dan senang menikmati cerita dari buku. Melalui proses imitasi, anak akan suka menirukan aktivitas membacakan cerita yang dilakukan oleh orang tuanya. Peniruan ini akan semakin diulang bila anak juga sering melihat orang tua melakukan aktivitas membaca. Anak akan meniru gaya dan tingkah laku orang tua dalam membaca. Kemudian setelah anak mampu membaca sendiri, maka ia akan senang sekali mempraktekkan kemampuan membacanya dengan membaca sendiri buku-buku yang tersedia di rumah. Kemauan untuk membaca buku atas inisiatif diri sendiri ini adalah awal tumbuhnya minat membaca anak. Perkembangan selanjutnya dari minat membaca ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Ada dua kelompok besar faktor yang mempengaruhi minat membaca anak, yaitu faktor personal dan faktor institusional (Purves dan Beach, dalam Harris dan Sipay, 1980). Faktor personal adalah faktor-faktor yang ada dalam diri anak, yaitu meliputi usia, jenis kelamin, inteligensi, kemampuan membaca, sikap dan kebutuhan psikologis. Sedangkan faktor institusional adalah faktor-faktor di luar diri anak, yaitu meliputi ketersediaan jumlah buku-buku bacaan dan jenis-jenis bukunya, status sosial ekonomi orang tua dan latar belakang etnis, kemudian pengaruh orang tua, guru dan teman sebaya anak.
Ada perbedaan minat anak terhadap buku bila ditinjau dari usia kronologis anak. Ediasari (Ayahbunda, 1983) berpendapat bahwa pada usia antara dua sampai dengan enam tahun anak-anak menyukai buku bacaan yang didominasi oleh gambar-gambar yang nyata. Pada usia tujuh tahun anak menyukai buku yang didominasi oleh gambar-gambar dengan bentuk tulisan besar-besar dan kata-kata yang sederhana dan mudah dibaca. Biasanya pada usia ini anak sudah memiliki kemampuan membaca permulaan dan mereka mulai aktif untuk membaca kata. Pada usia 8 s/d 9 tahun, anak-anak menyukai buku bacaan dengan komposisi ganbar dan tulisan yang seimbang. Mereka biasanya sudah lancar membaca, walaupun pemahaman mereka masih terbatas pada kalimat singkat dan sederhana bentuknya. Kemudian pada usia 10 s/d 12 tahun anak lebih menyukai buku dengan komposisi tulisan lebih banyak daripada gambar. Pada usia ini
kemampuan berpikir abstrak dalam diri anak mulai berkembang sehingga mereka dapat menemukan intisari dari buku bacaan dan mampu menceritakan isinya kepada orang lain.
Munandar (1986) menemukan ada perbedaan minat anak terhadap isi cerita ditinjau dari perkembangan usia kronologis anak. Pada usia 3 s/d 8 tahun anak menyukai buku cerita yang berisi mengenai binatang dan orang–orang di sekitar anak. Pada masa ini anak bersikap egosentrik sehingga mereka menyukai isi cerita yang berpusat pada kehidupan di seputar dirinya. Mereka juga menyukai cerita khayal dan dongeng. Pada usia 8 – 12 tahun anak menyukai isi cerita yang lebih realistik.
Munandar juga menemukan ada perbedaan umum antara minat membaca anak laki-laki dan perempuan dalam sifat dan tema cerita, walaupun perbedaan ini tidak bersifat pilah sama sekali; artinya anak-anak perempuan juga menikmati bacaan anak-anak laki-laki dan sebaliknya. Pada umumnya anak-anak perempuan menyukai buku cerita dengan tema kehidupan keluarga dan sekolah. Anak-anak laki-laki lebih menyukai buku cerita mengenai pertualangan, kisah perjalanan yang seram dan penuh ketegangan, cerita kepahlawanan dan cerita humor.
Faktor institusional memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan minat membaca anak. Keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi, mampu menggunakan tingkat pendidikannya yang tinggi untuk memperoleh informasi mengenai buku-buku yang perlu untuk perkembangan kognitif dan afektif anak. Didukung oleh penghasilan mereka yang cukup tinggi, maka orang tua dapat menyediakan buku-buku bacaan untuk anak dengan jenis yang beragam. Slavin (1998) menemukan ada perbedaan aktivitas orang tua dalam membimbing anak antara keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi dengan status sosial ekonomi rendah. Orang tua dengan status sosial ekonomi tinggi memiliki harapan tinggi terhadap keberhasilan anak di sekolah dan mereka sering memberi penghargaan terhadap pengembangan intelektual anak. Mereka juga mampu menjadi model yang bagus dalam berbicara dan aktivitas membaca. Orang tua sering membaca bersama anak, memberika pujian kepada anak saat anak membaca buku atas inisiatif sendiri, membawa anak ke toko buku dan mengunjungi perpustakaan dan mereka menjadi model bagi anak dengan lebih sering memanfaatkan waktu luang untuk membaca.
Orang tua dengan status sosial ekonomi rendah sering memberi contoh negatif dalam berbicara, terutama saat mereka bertengkar karena keterbatasan keuangan keluarga. Mereka juga jarang memuji anak ketika anak membaca, bahkan orang tua memiliki pengharapan rendah terhadap keberhasilan sekolah anak sehingga mereka tidak
mau terlibat untuk membantu pekerjaan rumah anak atau tugas sekolah yang lain. Akibat selanjutnya anak menjadi tidak berprestasi di sekolah dan hal ini menambah tekanan keluarga ketika orang tua dipanggil ke sekolah untuk mempertanggungjawabkan kegagalan pendidikan anak. Nampak bahwa keluarga dengan status sosial ekonomi rendah mengalami stres yang tinggi.
B. Pendekatan Stres Lingkungan
Pendekatan stres lingkungan sering digunakan secara luas dalam psikologi lingkungan. Stresor seperti kebisingan, kepadatan penduduk dan kesesakan, tekanan kerja, bencana alam, polusi dll adalah lingkungan aversif yang mengancam kesejahteraan manusia. Sebagai variabel mediator, stres didefiniskan sebagai reaksi terhadap lingkungan aversif (Bell dkk, 1996). Reaksi tersebut meliputi komponen emosi, perilaku dan fisiologis. Komponen fisiologis sering dinamakan stres sistemik, sedangkan komponen emosi dan tingkah laku dinamakan stres psikologis. Karena stres sistemik dan stres psikologis adalah saling berkaitan dan tidak terjadi sendiri-sendiri, maka psikolog lingkungan biasanya memadukan keduanya dalam satu teori yang dinamakan model stres lingkungan. Dalam model ini, stresor menunjuk kepada komponen lingkungan sedangkan response stres menunjukkan reaksi yang disebabkan oleh komponen lingkungan.
Ada tiga karakteristik utama stresor, yaitu peristiwa kataklismik (cataclysmic events), stres personal (personal stressors) dan stresor latar belakang (background stressors). Kejadian atau peristiwa kataklismik memiliki beberapa karakteistik dasar, yaitu biasanya terjadi secara tiba-tiba dengan sedikit tanda-tanda atau bahkan tidak ada tanda-tanda akan terjadi suatu peristiwa. Pengaruhnya sangat kuat sehingga muncul response universal dan melibatkan sejumlah besar orang. Kekuatan kataklismik yang mendadak menimbulkan rasa bingung pada korban, biasanya membutuhkan usaha sangat besar untuk melakukan koping secara efektif. Koping stres yang efektif berupa afiliasi satu sama lain dengan cara berbagi pendapat dan rasa. Bila koping tidak berhasil maka akan muncul ketidakberdayaan dan sikap pasif. Contoh peristiwa kataklismik adalah bencana alam, perang, kebocoran nuklir, kebakaran hebat dll.
Stresor personal meliputi kesakitan, kematian suami atau istri atau anak yang disayangi, pemutusan hubungan kerja dll yang biasanya dialami oleh seseorang dan membawa pengaruh yang buruk. Strategi koping yang efektif untuk stresor personal biasanya adalah dukungan sosial.
Background stressors dibedakan menjadi dua, yaitu daily hassles yang sering dinamakan juga stresor mikro, bersifat stabil dan intensitasnya rendah; misalnya adalah kehilangan barang, terlambat kerja, tekanan karena pekerjaan rumah tangga dan hal-hal lain yang bersifat rutin; dan ambient stressors atau stresor kronis yang bersifat global, misalnya polusi air dan udara, kebisingan, kepadatan dan kesesakan tempat hunian, kemacetan lalulintas dll yang bersifat masalah masyarakat pada umumnya.
Smet (1994) menemukan ada beberapa stresor dalam keluarga, yaitu perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, perbedaan yang tajam dalam menentukan tujuan, kebisingan karena suara radio, televisi atau tape yang dinyalakan dengan suara keras sekali, keluarga yang tinggal di lingkungan yang terlalu sesak, dan kehadiran adik baru. Stresor lain dalam keluarga adalah kehilangan anak yang disayangi akibat bencana alam, kesakitan atau kecelakaan, kematian suami atau istri.
Burr dan Klein (1994) menemukan ada enam stresor dalam stres keluarga, yaitu perekonomian keluarga menjadi bangkrut, anak mengalami cacat fisik atau mental sehingga harus di rawat di rumah sakit, remaja yang sulit dididik sehingga harus dibawa ke psikiater, anak yang mengalami penyempitan otot, ketidaksuburan pasangan suami dan istri, perubahan peran dalam rumah tangga.
Karakteristik response stres meliputi response fisiologis, strategi koping dan adaptasi. Response fisiologis bersifat otomatis dan menurut Selye (dalam Bell dkk, 1996) ada tiga tahap sindrome adaptasi umum yaitu tahap reaksi alarm, tahap resistensi dan tahap kelelahan. Reaksi alarm terhadap stresor bersifat proses otomatis, misal detak jantung meningkat, pengeluaran adrenalin, keringat dingin dll. Tahap resistensi juga dimulai dengan proses otomatis untuk menghadapi stresor, misal pada udara yang panas, secara otomatis tubuh mengeluarkan keringat. Bila mekanisme keseimbangan tidak tercapai, maka akan terjadi tahap ketiga, yaitu tahap kelelahan yang mengakibatkan beberapa penyakit seperti tukak lambung, pembengkakan adrenal dan gagal ginjal.
Strategi koping adalah perpaduan antara fungsi dari faktor individu dan situasional, meliputi melarikan diri dari stresor, serangan fisik atau verbal, dan kompromi. Pada dasarnya ada dua kategori strategi koping, yaitu aksi langsung atau berfokuskan pada masalah, misal mencari informasi, melarikan diri / menghindari stresor, mencoba memindahkan atau menghentikan stresor; dan paliatif atau berfokuskan emosi, misal menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti penyangkalan, rasionalisasi, reaksi formasi dll, penggunaan obat-obatan, relaksasi dll. Adaptasi terjadi ketika stimulus aversif muncul berulang kali dan response stres terhadap stresor menjadi makin lemah
dan bertambah lemah. Proses berikutnya setelah adaptasi adalah terjadi aftereffects, yaitu akibat jangka panjang setelah stresor berhenti.
C. Pengaruh Keterlibatan Orang Tua terhadap Minat Membaca Anak Ditinjau dari Pendekatan Stres Lingkungan
Dalam keluarga yang miskin, penghasilan suami dan atau istri yang rendah sering menjadi pemicu pertengkaran dalam keluarga. Akibat lebih lanjut dari pertengkaran adalah suami dan istri menjadi saling tidak peduli. Orang tua dengan tingkat pendidikan yang rendah ternyata sulit untuk mengendalikan kelahiran anak, sehingga jumlah kelahiran anak menjadi bertambah (Semaoen, Hani, Kiptiyah, 2000). Kehadiran anak atau adik baru bagi anak yang lebih tua menimbulkan stres bagi ibu dan ayah. Ibu akan merasakan stres selama kehamilan, apalagi bila anak yang dikandung adalah anak yang ketiga atau keempat dimana muncul rasa bersalah tidak mentaati program Keluarga Berencana, dan pasca melahirkan. Stres pada ayah berkaitan dengan rasa kuatir akan berubahnya interaksi antara suami dan istri dan timbul kekuatiran akan tambahan beaya hidup.
Biasanya keluarga miskin ini tinggal di kantong-kantong kemiskinan dengan luas rumah yang sangat terbatas, kumuh, panas, bising dan sesak. Tinggal di lingkungan yang terlalu sesak dapat menimbulkan stres dan akibat selanjutnya orang menjadi kurang suka menolong orang lain (Bell dkk, 1996).
Keluarga yang tinggal di daerah slums, biasanya tetap memiliki gambaran kualitas rumah yang ideal. Mereka biasanya masih mendambakan rumah berkualitas dengan ciri-ciri adanya kontinuitas, yaitu rasa memiliki rumah secara permanen; ada privasi, ada tempat untuk mengekspresikan diri, identitas personal yaitu berkaitan dengan simbol diri mereka dan keinginan untuk menunjukkan rumah kepada orang lain; relasi sosial, kehangatan dan tempat untuk berteduh dan berlindung (Smith, 1994). Ketiadaan ruang untuk ekspresi diri, yaitu untuk mengembangkan intelektual dan kepribadian anak; maupun kehangatan yang ditandai dengan adanya suasana persahabatan dan dukungan untuk berprestasi, menghalangi orang tua untuk menolong anak dalam aktivitas membaca maupun aktivitas belajar yang lain.
Perselisihan dalam keluarga, perasaan saling tidak peduli, kesesakan karena keterbatasan luas rumah dan terlalu banyak anak, kebisingan, kurang ruang untuk ekspresi diri dan kehangatan merupakan stresor yang kuat dalam keluarga miskin. Stresor
ini masih ditambah dengan adanya interaksi orang tua dengan fihak lain di luar lingkungan rumah, yaitu tekanan kerja di tempat kerja. Ada konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga. Keluarga menuntut penghasilan yang lebih tinggi untuk menutup beaya kehidupan sehari-hari, sedangkan di tempat kerja orang tua juga dituntut untuk lebih profesional dalam bekerja namun tidak mampu karena keterbatasan tingkat pendidikan dan kekurangan ketrampilan kerja.
Stresor yang lain adalah pengalaman stres anak-anak di sekolah. Orang tua jarang terlibat untuk membantu anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah maupun aktivitas belajar anak yang lain menyebabkan anak tidak mampu mengerjakan pekerjaan rumah. Ketidakbiasaan membuat pekerjaan rumah menjadikan anak tidak terlatih sehingga anak sering gagal dan ditertawakan bila harus mengerjakan tugas di depan kelas. Dua hal ini menjadikan anak juga mengalami stres. Orang tua juga akan bertambah stres ketika dipanggil oleh pihak sekolah guna mempertanggungjawabkan kegagalan pendidikan anak.
Stres dalam keluarga berinteraksi dengan stres dari luar lingkungan rumah menimbulkan stres tingkat tinggi dalam diri orang tua. Hal ini menyita waktu orang tua dan membuang energi dan perhatian mereka sehingga secara psikologis mereka tidak mampu untuk terlibat menolong anak dalam aktivitas membaca. Ketidakterlibatan orang tua dalam aktivitas membaca mengakibatkan minat membaca anak tetap rendah (Grolnick dkk, 1997).
Penelitian Grolnick dkk ini berbeda dengan hasil penemuan Morrow dan Young (1997) yang menemukan bahwa kegiatan membaca bersama antara anak dan orang tuanya berpengaruh terhadap sikap dan minat membaca anak. Melalui program membaca bersama antara orang tua dan anak, anak-anak menjadi suka mengisi waktu luangnya dengan aktivitas membaca, mereka suka membaca bersama orang dewasa yang lain, suka membaca majalah dan buku-buku yang ada di rumah dan di perpustakaan sekolah. Kondisi sosial ekonomi keluarga dalam penelitian Morrow dan Young juga tergolong rendah, namun mereka merasa mendapat dukungan sosial melalui program membaca keluarga. Buku-buku dan perlengkapan membaca merupakan dukungan instrumental untuk mendidik anak, program pelatihan untuk orang tua agar terlibat secara efektif dalam program membaca keluarga merupakan dukungan informatif yang sangat berguna bagi orang tua untuk memberikan dukungan penghargaan dan emosi kepada anak saat mereka membaca bersama.
BAB III
PENUTUP
PENDAHULUAN
Tiap bulan September diperingati sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan. Melalui peingatan itu diharapkan masyarakat menjadi gemar membaca, khususnya anak-anak Sekolah Dasar (SD); sebab membaca adalah kunci untuk keberhasilan belajar siswa di sekolah. Kemampuan membaca dan minat membaca yang tinggi adalah modal dasar untuk keberhasilan anak dalam berbagai mata pelajaran.
Sejak tahun 1995 sampai sekarang, media massa selalu memuat berita mengenai minat membaca masyarakat, terutama minat membaca anak-anak SD. Misal harian Suara Merdeka menulis tajuk rencana dengan judul Kegemaran Membaca Belum Seperti Yang Diharapkan (Suara Merdeka, 1995). Kompas memuat artikel Rumah Baca, Upaya Menumbuhkan Minat Baca (Kompas, 1995) dan Pikiran Rakyat (2000) melalui tulisan Wakidi yang berjudul Minat Membaca Anak Sekolah Dasar juga ikut prihatin dengan minat membaca anak SD yang rendah. Media elektronik seperti televisi juga ikut menayangkan iklan layanan masyarakat untuk meningkatkan minat membaca.
Tulisan di surat kabar dan tayangan iklan layanan masyarakat di televisi pada intinya menyuarakan kepihatinan terhadap minat membaca anak-anak yang masih rendah. Padahal masalah minat membaca merupakan persoalan yang penting dalam dunia pendidikan. Anak-anak SD yang memiliki minat membaca tinggi akan berprestasi tinggi di sekolah, sebaliknya anak-anak SD yang memiliki minat membaca rendah, akan rendah pula prestasi belajarnya (Wigfield dan Guthrie, 1997).
Hampir tiap tahun orang tua diingatkan untuk menanamkan dan menumbuhkan minat membaca anak melalui media massa, namun keluhan bahwa minat membaca anak tetap rendah masih selalu terdengar. Nampaknya belum ditemukan cara yang efektif untuk melibatkan orang tua dalam menolong meningkatkan minat membaca. Belum banyak diteliti mengenai faktor-faktor yang menentukan bagaimana cara melibatkan orang tua untuk meningkatkan minat membaca anak. Pemahaman terhadap faktor-faktor tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan intervensi yang efektif untuk meningkatkan keterlibatan orang tua dalam menumbuhkan minat membaca anak di keluarga masing-masing.
Kesulitan untuk melibatkan orang tua menjadi makin bertambah pada keluarga dengan sosial ekonomi rendah. Krisis ekonomi, bencana alam dan kerusuhan di beberapa daerah di Indonesia menambah jumlah keluarga miskin sehingga mereka tersisih dari kehidupan kota dan tinggal di kantong-kantong kemiskinan. Mereka sering mengalami pertengkaran dalam masalah keuangan keluarga sehingga mengalami stres tiap hari. Stres ini mkin bertambah tinggi oleh stres kerja, tinggal di daerah kumuh, panas, bising dan sesak, persoalan kegagalan pendidikan anak dan laju kelahiran anak yang sulit dikendalikan. Tumpukan stres ini menyita dan membuang energi orang tua untuk hal yang negatif dan perhatian mereka tidak terpusat untuk terlibat menolong anak dalam membaca sehingga minat membaca anak tidak tumbuh dan berkembang.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka secara berurutan akan dibahas mengenai minat membaca anak, pendekatan stres lingkungan dan yang terakhir pengaruh keterlibatan orang tua terhadap minat membaca anak ditinjau dari pendekatan stres lingkungan.
BAB II
MINAT MEMBACA
A. Minat Membaca Anak
Aktivitas membaca akan dilakukan oleh anak atau tidak sangat ditentukan oleh minat anak terhadap aktivitas tersebut. Di sini nampak bahwa minat merupakan motivator yang kuat untuk melakukan suatu aktivitas.
Secara umum minat dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan yang menyebabkan seseorang berusaha untuk mencari ataupun mencoba aktivitas-aktivitas dalam bidang tertentu. Minat juga diartikan sebagai sikap positif anak terhadap aspek-aspek lingkungan. Ada juga yang mengartikan minat sebagai kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan menikmati suatu aktivitas disertai dengan rasa senang.
Meichati (1972) mengartikan minat adalah perhatian yang kuat, intensif dan menguasai individu secara mendalam untuk tekun melalukan suatu aktivitas.
Aspek minat terdiri dari aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif berupa konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat pada manfaat dari obyek tersebut. Aspek afektif nampak dalam rasa suka atau tidak senang dan kepuasan pribadi terhadap obyek tersebut.
Membaca adalah proses untuk memperoleh pengertian dari kombinasi beberapa huruf dan kata. Juel (1988) mengartikan bahwa membaca adalah proses untuk mengenal kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan. Hasil akhir dari proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan.
Secara operasional Lilawati (1988) mengartikan minat membaca anak adalah suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan perasaan senang terhadap kegiatan membaca sehingga mengarahkan anak untuk membaca dengan kemauannya sendiri. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, kesadaran akan manfaat membaca, frekuensi membaca dan jumlah buku bacaan yang pernah dibaca oleh anak. Sinambela (1993) mengartikan minat membaca adalah sikap positif dan adanya rasa keterikatan dalam diri anak terhadap aktivitas membaca dan tertarik terhadap buku bacaan. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, frekuensi membaca dan kesadaran akan manfaat membaca.
Berdasar pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa minat membaca adalah kekuatan yang mendorong anak untuk memperhatikan, merasa tertarik dan senang terhadap aktivitas membaca sehingga mereka mau melakukan aktivitas membaca dengan kemauan sendiri. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, frekuensi membaca dan kesadaran akan manfaat membaca.
Minat membaca perlu ditanamkan dan ditumbuhkan sejak anak masih kecil sebab minat membaca pada anak tidak akan terbentuk dengan sendirinya, tetapi sangat dipengaruhi oleh stimulasi yang diperoleh dari lingkungan anak. Keluarga merupakan lingkungan paling awal dan dominan dalam menanamkan, menumbuhkan dan membina minat membaca anak. Orang tua perlu menanamkan kesadaran akan pentingnya membaca dalam kehidupan anak, setelah itu baru guru di sekolah, teman sebaya dan masyarakat.
Mulyani (1978) berpendapat bahwa tingkat perkembangan seseorang yang paling menguntungkan untuk pengembangan minat membaca adalah pada masa peka, yaitu sekitar usia 5 s/d 6 tahun. Kemudian minat membaca ini akan berkembang sampai dengan masa remaja.
Minat membaca pertama kali harus ditanamkan melalui pendidikan dan kebiasaan keluarga pada masa peka tersebut. Anak usia 5 s/d 6 tahun senang sekali mendengarkan cerita. Mula-mula mereka tertarik bukan pada isi ceritanya, tetapi pada kenikmatan yang diperoleh dalam kedekatannya dengan orang tua. Ketika duduk bersama atau duduk di pangkuan orang tua, anak merasakan adanya kasih sayang dan kelembutan. Suasana yang menyenangkan dan didukung oleh buku cerita yang penuh gambar-gambar indah akan membuat anak menjadi tertarik dan senang menikmati cerita dari buku. Melalui proses imitasi, anak akan suka menirukan aktivitas membacakan cerita yang dilakukan oleh orang tuanya. Peniruan ini akan semakin diulang bila anak juga sering melihat orang tua melakukan aktivitas membaca. Anak akan meniru gaya dan tingkah laku orang tua dalam membaca. Kemudian setelah anak mampu membaca sendiri, maka ia akan senang sekali mempraktekkan kemampuan membacanya dengan membaca sendiri buku-buku yang tersedia di rumah. Kemauan untuk membaca buku atas inisiatif diri sendiri ini adalah awal tumbuhnya minat membaca anak. Perkembangan selanjutnya dari minat membaca ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Ada dua kelompok besar faktor yang mempengaruhi minat membaca anak, yaitu faktor personal dan faktor institusional (Purves dan Beach, dalam Harris dan Sipay, 1980). Faktor personal adalah faktor-faktor yang ada dalam diri anak, yaitu meliputi usia, jenis kelamin, inteligensi, kemampuan membaca, sikap dan kebutuhan psikologis. Sedangkan faktor institusional adalah faktor-faktor di luar diri anak, yaitu meliputi ketersediaan jumlah buku-buku bacaan dan jenis-jenis bukunya, status sosial ekonomi orang tua dan latar belakang etnis, kemudian pengaruh orang tua, guru dan teman sebaya anak.
Ada perbedaan minat anak terhadap buku bila ditinjau dari usia kronologis anak. Ediasari (Ayahbunda, 1983) berpendapat bahwa pada usia antara dua sampai dengan enam tahun anak-anak menyukai buku bacaan yang didominasi oleh gambar-gambar yang nyata. Pada usia tujuh tahun anak menyukai buku yang didominasi oleh gambar-gambar dengan bentuk tulisan besar-besar dan kata-kata yang sederhana dan mudah dibaca. Biasanya pada usia ini anak sudah memiliki kemampuan membaca permulaan dan mereka mulai aktif untuk membaca kata. Pada usia 8 s/d 9 tahun, anak-anak menyukai buku bacaan dengan komposisi ganbar dan tulisan yang seimbang. Mereka biasanya sudah lancar membaca, walaupun pemahaman mereka masih terbatas pada kalimat singkat dan sederhana bentuknya. Kemudian pada usia 10 s/d 12 tahun anak lebih menyukai buku dengan komposisi tulisan lebih banyak daripada gambar. Pada usia ini
kemampuan berpikir abstrak dalam diri anak mulai berkembang sehingga mereka dapat menemukan intisari dari buku bacaan dan mampu menceritakan isinya kepada orang lain.
Munandar (1986) menemukan ada perbedaan minat anak terhadap isi cerita ditinjau dari perkembangan usia kronologis anak. Pada usia 3 s/d 8 tahun anak menyukai buku cerita yang berisi mengenai binatang dan orang–orang di sekitar anak. Pada masa ini anak bersikap egosentrik sehingga mereka menyukai isi cerita yang berpusat pada kehidupan di seputar dirinya. Mereka juga menyukai cerita khayal dan dongeng. Pada usia 8 – 12 tahun anak menyukai isi cerita yang lebih realistik.
Munandar juga menemukan ada perbedaan umum antara minat membaca anak laki-laki dan perempuan dalam sifat dan tema cerita, walaupun perbedaan ini tidak bersifat pilah sama sekali; artinya anak-anak perempuan juga menikmati bacaan anak-anak laki-laki dan sebaliknya. Pada umumnya anak-anak perempuan menyukai buku cerita dengan tema kehidupan keluarga dan sekolah. Anak-anak laki-laki lebih menyukai buku cerita mengenai pertualangan, kisah perjalanan yang seram dan penuh ketegangan, cerita kepahlawanan dan cerita humor.
Faktor institusional memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan minat membaca anak. Keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi, mampu menggunakan tingkat pendidikannya yang tinggi untuk memperoleh informasi mengenai buku-buku yang perlu untuk perkembangan kognitif dan afektif anak. Didukung oleh penghasilan mereka yang cukup tinggi, maka orang tua dapat menyediakan buku-buku bacaan untuk anak dengan jenis yang beragam. Slavin (1998) menemukan ada perbedaan aktivitas orang tua dalam membimbing anak antara keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi dengan status sosial ekonomi rendah. Orang tua dengan status sosial ekonomi tinggi memiliki harapan tinggi terhadap keberhasilan anak di sekolah dan mereka sering memberi penghargaan terhadap pengembangan intelektual anak. Mereka juga mampu menjadi model yang bagus dalam berbicara dan aktivitas membaca. Orang tua sering membaca bersama anak, memberika pujian kepada anak saat anak membaca buku atas inisiatif sendiri, membawa anak ke toko buku dan mengunjungi perpustakaan dan mereka menjadi model bagi anak dengan lebih sering memanfaatkan waktu luang untuk membaca.
Orang tua dengan status sosial ekonomi rendah sering memberi contoh negatif dalam berbicara, terutama saat mereka bertengkar karena keterbatasan keuangan keluarga. Mereka juga jarang memuji anak ketika anak membaca, bahkan orang tua memiliki pengharapan rendah terhadap keberhasilan sekolah anak sehingga mereka tidak
mau terlibat untuk membantu pekerjaan rumah anak atau tugas sekolah yang lain. Akibat selanjutnya anak menjadi tidak berprestasi di sekolah dan hal ini menambah tekanan keluarga ketika orang tua dipanggil ke sekolah untuk mempertanggungjawabkan kegagalan pendidikan anak. Nampak bahwa keluarga dengan status sosial ekonomi rendah mengalami stres yang tinggi.
B. Pendekatan Stres Lingkungan
Pendekatan stres lingkungan sering digunakan secara luas dalam psikologi lingkungan. Stresor seperti kebisingan, kepadatan penduduk dan kesesakan, tekanan kerja, bencana alam, polusi dll adalah lingkungan aversif yang mengancam kesejahteraan manusia. Sebagai variabel mediator, stres didefiniskan sebagai reaksi terhadap lingkungan aversif (Bell dkk, 1996). Reaksi tersebut meliputi komponen emosi, perilaku dan fisiologis. Komponen fisiologis sering dinamakan stres sistemik, sedangkan komponen emosi dan tingkah laku dinamakan stres psikologis. Karena stres sistemik dan stres psikologis adalah saling berkaitan dan tidak terjadi sendiri-sendiri, maka psikolog lingkungan biasanya memadukan keduanya dalam satu teori yang dinamakan model stres lingkungan. Dalam model ini, stresor menunjuk kepada komponen lingkungan sedangkan response stres menunjukkan reaksi yang disebabkan oleh komponen lingkungan.
Ada tiga karakteristik utama stresor, yaitu peristiwa kataklismik (cataclysmic events), stres personal (personal stressors) dan stresor latar belakang (background stressors). Kejadian atau peristiwa kataklismik memiliki beberapa karakteistik dasar, yaitu biasanya terjadi secara tiba-tiba dengan sedikit tanda-tanda atau bahkan tidak ada tanda-tanda akan terjadi suatu peristiwa. Pengaruhnya sangat kuat sehingga muncul response universal dan melibatkan sejumlah besar orang. Kekuatan kataklismik yang mendadak menimbulkan rasa bingung pada korban, biasanya membutuhkan usaha sangat besar untuk melakukan koping secara efektif. Koping stres yang efektif berupa afiliasi satu sama lain dengan cara berbagi pendapat dan rasa. Bila koping tidak berhasil maka akan muncul ketidakberdayaan dan sikap pasif. Contoh peristiwa kataklismik adalah bencana alam, perang, kebocoran nuklir, kebakaran hebat dll.
Stresor personal meliputi kesakitan, kematian suami atau istri atau anak yang disayangi, pemutusan hubungan kerja dll yang biasanya dialami oleh seseorang dan membawa pengaruh yang buruk. Strategi koping yang efektif untuk stresor personal biasanya adalah dukungan sosial.
Background stressors dibedakan menjadi dua, yaitu daily hassles yang sering dinamakan juga stresor mikro, bersifat stabil dan intensitasnya rendah; misalnya adalah kehilangan barang, terlambat kerja, tekanan karena pekerjaan rumah tangga dan hal-hal lain yang bersifat rutin; dan ambient stressors atau stresor kronis yang bersifat global, misalnya polusi air dan udara, kebisingan, kepadatan dan kesesakan tempat hunian, kemacetan lalulintas dll yang bersifat masalah masyarakat pada umumnya.
Smet (1994) menemukan ada beberapa stresor dalam keluarga, yaitu perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, perbedaan yang tajam dalam menentukan tujuan, kebisingan karena suara radio, televisi atau tape yang dinyalakan dengan suara keras sekali, keluarga yang tinggal di lingkungan yang terlalu sesak, dan kehadiran adik baru. Stresor lain dalam keluarga adalah kehilangan anak yang disayangi akibat bencana alam, kesakitan atau kecelakaan, kematian suami atau istri.
Burr dan Klein (1994) menemukan ada enam stresor dalam stres keluarga, yaitu perekonomian keluarga menjadi bangkrut, anak mengalami cacat fisik atau mental sehingga harus di rawat di rumah sakit, remaja yang sulit dididik sehingga harus dibawa ke psikiater, anak yang mengalami penyempitan otot, ketidaksuburan pasangan suami dan istri, perubahan peran dalam rumah tangga.
Karakteristik response stres meliputi response fisiologis, strategi koping dan adaptasi. Response fisiologis bersifat otomatis dan menurut Selye (dalam Bell dkk, 1996) ada tiga tahap sindrome adaptasi umum yaitu tahap reaksi alarm, tahap resistensi dan tahap kelelahan. Reaksi alarm terhadap stresor bersifat proses otomatis, misal detak jantung meningkat, pengeluaran adrenalin, keringat dingin dll. Tahap resistensi juga dimulai dengan proses otomatis untuk menghadapi stresor, misal pada udara yang panas, secara otomatis tubuh mengeluarkan keringat. Bila mekanisme keseimbangan tidak tercapai, maka akan terjadi tahap ketiga, yaitu tahap kelelahan yang mengakibatkan beberapa penyakit seperti tukak lambung, pembengkakan adrenal dan gagal ginjal.
Strategi koping adalah perpaduan antara fungsi dari faktor individu dan situasional, meliputi melarikan diri dari stresor, serangan fisik atau verbal, dan kompromi. Pada dasarnya ada dua kategori strategi koping, yaitu aksi langsung atau berfokuskan pada masalah, misal mencari informasi, melarikan diri / menghindari stresor, mencoba memindahkan atau menghentikan stresor; dan paliatif atau berfokuskan emosi, misal menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti penyangkalan, rasionalisasi, reaksi formasi dll, penggunaan obat-obatan, relaksasi dll. Adaptasi terjadi ketika stimulus aversif muncul berulang kali dan response stres terhadap stresor menjadi makin lemah
dan bertambah lemah. Proses berikutnya setelah adaptasi adalah terjadi aftereffects, yaitu akibat jangka panjang setelah stresor berhenti.
C. Pengaruh Keterlibatan Orang Tua terhadap Minat Membaca Anak Ditinjau dari Pendekatan Stres Lingkungan
Dalam keluarga yang miskin, penghasilan suami dan atau istri yang rendah sering menjadi pemicu pertengkaran dalam keluarga. Akibat lebih lanjut dari pertengkaran adalah suami dan istri menjadi saling tidak peduli. Orang tua dengan tingkat pendidikan yang rendah ternyata sulit untuk mengendalikan kelahiran anak, sehingga jumlah kelahiran anak menjadi bertambah (Semaoen, Hani, Kiptiyah, 2000). Kehadiran anak atau adik baru bagi anak yang lebih tua menimbulkan stres bagi ibu dan ayah. Ibu akan merasakan stres selama kehamilan, apalagi bila anak yang dikandung adalah anak yang ketiga atau keempat dimana muncul rasa bersalah tidak mentaati program Keluarga Berencana, dan pasca melahirkan. Stres pada ayah berkaitan dengan rasa kuatir akan berubahnya interaksi antara suami dan istri dan timbul kekuatiran akan tambahan beaya hidup.
Biasanya keluarga miskin ini tinggal di kantong-kantong kemiskinan dengan luas rumah yang sangat terbatas, kumuh, panas, bising dan sesak. Tinggal di lingkungan yang terlalu sesak dapat menimbulkan stres dan akibat selanjutnya orang menjadi kurang suka menolong orang lain (Bell dkk, 1996).
Keluarga yang tinggal di daerah slums, biasanya tetap memiliki gambaran kualitas rumah yang ideal. Mereka biasanya masih mendambakan rumah berkualitas dengan ciri-ciri adanya kontinuitas, yaitu rasa memiliki rumah secara permanen; ada privasi, ada tempat untuk mengekspresikan diri, identitas personal yaitu berkaitan dengan simbol diri mereka dan keinginan untuk menunjukkan rumah kepada orang lain; relasi sosial, kehangatan dan tempat untuk berteduh dan berlindung (Smith, 1994). Ketiadaan ruang untuk ekspresi diri, yaitu untuk mengembangkan intelektual dan kepribadian anak; maupun kehangatan yang ditandai dengan adanya suasana persahabatan dan dukungan untuk berprestasi, menghalangi orang tua untuk menolong anak dalam aktivitas membaca maupun aktivitas belajar yang lain.
Perselisihan dalam keluarga, perasaan saling tidak peduli, kesesakan karena keterbatasan luas rumah dan terlalu banyak anak, kebisingan, kurang ruang untuk ekspresi diri dan kehangatan merupakan stresor yang kuat dalam keluarga miskin. Stresor
ini masih ditambah dengan adanya interaksi orang tua dengan fihak lain di luar lingkungan rumah, yaitu tekanan kerja di tempat kerja. Ada konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga. Keluarga menuntut penghasilan yang lebih tinggi untuk menutup beaya kehidupan sehari-hari, sedangkan di tempat kerja orang tua juga dituntut untuk lebih profesional dalam bekerja namun tidak mampu karena keterbatasan tingkat pendidikan dan kekurangan ketrampilan kerja.
Stresor yang lain adalah pengalaman stres anak-anak di sekolah. Orang tua jarang terlibat untuk membantu anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah maupun aktivitas belajar anak yang lain menyebabkan anak tidak mampu mengerjakan pekerjaan rumah. Ketidakbiasaan membuat pekerjaan rumah menjadikan anak tidak terlatih sehingga anak sering gagal dan ditertawakan bila harus mengerjakan tugas di depan kelas. Dua hal ini menjadikan anak juga mengalami stres. Orang tua juga akan bertambah stres ketika dipanggil oleh pihak sekolah guna mempertanggungjawabkan kegagalan pendidikan anak.
Stres dalam keluarga berinteraksi dengan stres dari luar lingkungan rumah menimbulkan stres tingkat tinggi dalam diri orang tua. Hal ini menyita waktu orang tua dan membuang energi dan perhatian mereka sehingga secara psikologis mereka tidak mampu untuk terlibat menolong anak dalam aktivitas membaca. Ketidakterlibatan orang tua dalam aktivitas membaca mengakibatkan minat membaca anak tetap rendah (Grolnick dkk, 1997).
Penelitian Grolnick dkk ini berbeda dengan hasil penemuan Morrow dan Young (1997) yang menemukan bahwa kegiatan membaca bersama antara anak dan orang tuanya berpengaruh terhadap sikap dan minat membaca anak. Melalui program membaca bersama antara orang tua dan anak, anak-anak menjadi suka mengisi waktu luangnya dengan aktivitas membaca, mereka suka membaca bersama orang dewasa yang lain, suka membaca majalah dan buku-buku yang ada di rumah dan di perpustakaan sekolah. Kondisi sosial ekonomi keluarga dalam penelitian Morrow dan Young juga tergolong rendah, namun mereka merasa mendapat dukungan sosial melalui program membaca keluarga. Buku-buku dan perlengkapan membaca merupakan dukungan instrumental untuk mendidik anak, program pelatihan untuk orang tua agar terlibat secara efektif dalam program membaca keluarga merupakan dukungan informatif yang sangat berguna bagi orang tua untuk memberikan dukungan penghargaan dan emosi kepada anak saat mereka membaca bersama.
BAB III
PENUTUP
Pendekatan stres lingkungan dapat digunakan untuk menolong memprediksikan bermacam-macam akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan fisik, sosial maupun psikologis. Namun perlu dicermati bahwa pendekatan stres lingkungan secara tunggal sering menimbulkan kekaburan dalam mengidentifikasi stresor. Model stres lingkungan juga sering sulit secara pasti memprediksikan strategi koping yang akan digunakan oleh keluarga untuk menghadapi stresor, sebab antara satu keluarga dengan keluarga lain mungkin berbeda walaupun tinggal dalam lingkungan dan kondisi sosial ekonomi sama. Ketergantungan pada konteks keluarga dan adanya perbedaan individual masih merupakan suatu tantangan psikologi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ayahbunda, Jakarta, September No. 18, 1983
Bell, P.A., Greene, T.C., Fisher, J.D., and Baum, A. 1996. Enviromental Psychology. Fourth Edition. Orlando : Harcourt Brace College Publishers.
Burr, W.C., and Klein, S.R. 1994. Reexamining Family Stress : New Theory and Research. California : Sage Publishers, Inc.
Grolnick, W.S., Benjet, C., Kurowski, C.O., and Apostoleris, N.H. 1997. Predictors of Parent Involvement in Children’s Schooling. Journal of Educational Psychology. 89 ( 3), 538 – 548.
Harris, A., and Sipay, E. 1980. How To Increase Reading Ability.. New York : Longman, Inc.
Juel, C. 1988. Learning to Read and Write : A Longitudinal Study of 54 Children from First through Fourth Grade. Journal of Educational Psychology, 80 (4), 437 – 447.
DAFTAR PUSTAKA
Ayahbunda, Jakarta, September No. 18, 1983
Bell, P.A., Greene, T.C., Fisher, J.D., and Baum, A. 1996. Enviromental Psychology. Fourth Edition. Orlando : Harcourt Brace College Publishers.
Burr, W.C., and Klein, S.R. 1994. Reexamining Family Stress : New Theory and Research. California : Sage Publishers, Inc.
Grolnick, W.S., Benjet, C., Kurowski, C.O., and Apostoleris, N.H. 1997. Predictors of Parent Involvement in Children’s Schooling. Journal of Educational Psychology. 89 ( 3), 538 – 548.
Harris, A., and Sipay, E. 1980. How To Increase Reading Ability.. New York : Longman, Inc.
Juel, C. 1988. Learning to Read and Write : A Longitudinal Study of 54 Children from First through Fourth Grade. Journal of Educational Psychology, 80 (4), 437 – 447.
Kompas, Jakarta, 22 Januari 1995
Lilawati, 1988. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orang Tua, Stimulasi Membaca dari Orang Tua dan Inteligensi dengan Minat Membaca Pada Anak Kelas V Sekolah Dasar. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Meichati, S. 1978. Motivasi Pembaca. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Morrow, L..M., and Young, J. 1997. A Family Literacy Program Connecting School and home : Effects on Attitude, Motivation and Literacy Achievement. Journal of Educational Psychology, 89 ( 4), 736 - 742.
11
Lilawati, 1988. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orang Tua, Stimulasi Membaca dari Orang Tua dan Inteligensi dengan Minat Membaca Pada Anak Kelas V Sekolah Dasar. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Meichati, S. 1978. Motivasi Pembaca. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Morrow, L..M., and Young, J. 1997. A Family Literacy Program Connecting School and home : Effects on Attitude, Motivation and Literacy Achievement. Journal of Educational Psychology, 89 ( 4), 736 - 742.
11
Mulyani, A.N. 1981. Pembinaan Minat Baca dan Promosi Perpustakaan. Berita Perpustakaan Sekolah, I, 24 – 29.
Munandar, S.C.U. 1986. Memupuk Minat Untuk Membaca. Jakarta : IKAPI.
Pikiran Rakyat, Bandung, 15 Juli 2000
Munandar, S.C.U. 1986. Memupuk Minat Untuk Membaca. Jakarta : IKAPI.
Pikiran Rakyat, Bandung, 15 Juli 2000
Semaoen, I., Hani, E.S. dan Kiptiyah, S.M. 2000. Strategi Orang tua Di Perdesaan Miskin dalam Upaya Peningkatan Kualitas Anak. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, 12 ( 1 ), 10 – 17.
Sinambela, N.L. 1993. Hubungan Minat Membaca dengan Kreativitas Pada Siswa-siswi Kelas II SMP Negeri 5 Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Slavin, R. 1998. Educational Psychology : Theory and Practice. Fourth Edition. Boston : Allyn and Bacon.
Smeth, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT : Gramedia
Smith, S.G. 1994. The Essential Qualities of Home. Journal of Enviromental Psychology, 14, 31 – 46.
Suara Merdeka, Semarang, 15 September 1995.
Wigfield, A., and Guthrie, J.T. 1997. Relations of Children’s Motivation for Reading to the Amount and Breadth of Their Reading. Journal of Educational Psychology, 89 ( 3 ), 420 – 432.
Slavin, R. 1998. Educational Psychology : Theory and Practice. Fourth Edition. Boston : Allyn and Bacon.
Smeth, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT : Gramedia
Smith, S.G. 1994. The Essential Qualities of Home. Journal of Enviromental Psychology, 14, 31 – 46.
Suara Merdeka, Semarang, 15 September 1995.
Wigfield, A., and Guthrie, J.T. 1997. Relations of Children’s Motivation for Reading to the Amount and Breadth of Their Reading. Journal of Educational Psychology, 89 ( 3 ), 420 – 432.
PENGARUH KETERLIBATAN ORANG TUA TERHADAP MINAT MEMBACA ANAK DITINJAU DARI PENDEKATAN STRES LINGKUNGAN
Reviewed by BUMI ANOA
on
6:07 AM
Rating:
No comments: