Kartini Menggugat Krisis
Gugatan Kartini mengenai kondisi sosial perempuan pada akhir abad 19 masih signifikan untuk kita gugat saat ini –di abad milenium, seratus tahun lebih kemudian. Terdapat empat masalah yang tak kunjung mengalami kemajuan sejak Kartini sampai saat ini, yakni, masalah perkawinan, kerja, pendidikan dan kesehatan reproduksi. Sekali pun gerakan perempuan sejak masa pergerakan nasional hingga saat ini telah berupaya memperjuangkannya secara politik dan sosial, sekali lagi, krisis ekonomi-politik yang bertubi-tubi sepanjang abad 20, menghancurkan seluruh daya upaya untuk mengentaskan perempuan dari belenggu problematika sosialnya.
Karena itu, sangatlah tidak signifikan memperingati Hari Kartini dengan mengenakan kebaya dan lomba-lomba fashion sebagaimana selama ini menjadi kebiasaan di sekolah-sekolah. Institusi pendidikan, sebagai sarana reproduksi pengetahuan sejarah dan realitas sosial, sudah saatnya mengubah mindset dalam menjelaskan kepada peserta didik mengenai kondisi sosial perempuan saat ini. Kita tahu, dari bangku pendidikan, proses melek pengetahuan dan kesadaran perempuan harus di mulai, sebagaimana pandangan Kartini saat itu.
Pendidikan. Namun, di abad milenium saat ini masih terdapat 5,3 juta perempuan buta huruf di Indonesia. Di Kabupaten Bandung, contohnya, masih dijumpai anak remaja yang buta huruf. Mereka yang buta huruf tersebut mengalami kesulitan untuk melamar pekerjaan karena tidak tidak bisa baca tulis, tidak mempunyai ijazah dan pada akhirnya seringkali menjadi korban penipuan calo-calo tenaga kerja. Buta huruf di tengah pendidikan dasar di Indonesia dinyatakan gratis, adalah merupakan tragedi bagi kita. Yang sempat mengikuti pendidikan dasar pun ada banyak yang putus sekolah, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Buta huruf dan putus sekolah banyak terjadi di kalangan rakyat pekerja dengan upah harian tidak lebih dari Rp 20.000,-Sedangkan bagi perempuan yang beruntung mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi menghadapi implikasi dari penerapan UU BHP, yakni privatisasi pendidikan, yang mahal di beaya namun rendah di mutu pendidikan.
Privatisasi pendidikan dan komersialisasi dalam segala bentuk di dalamnya merupakan ancaman yang akan menciptakan tragedi iliterasi (buta pengetahuan) di Indonesia.
Pekerjaan. Baik perempuan yang buta huruf, putus sekolah, lulus sekolah, pada akhirnya harus memasuki lapangan kerja. Perempuan harus bekerja, karena sebuah rumah tangga saat ini tidak mungkin hanya dipenuhi nafkahnya dari suami –yang selalu diakui sebagai kepala keluarga. Pekerjaan perempuan meliputi segala sesuatu yang dapat menghasilkan uang tunai, mulai dari pekerjaan ekonomi upahan, meramu bahan makanan dari alam (food gathering), berjualan.
Pekerjaan ekonomi upahan memobilisasi perempuan untuk memasuki industrialisasi manufaktur, jasa, perkebunan dan sedikit di sektor pertambangan, yang lintas geografi dan yuridiksi negara.
Industri manufaktur, yang terdiri dari garmen, tekstil, elektronik, sepatu, dll, yang padat karta banyak menyerap tenaga kerja perempuan. Kawasan industri ini yang dibangun sejak 1970-an di Medan, Jakarta (Jabodetabek-Karawang-Subang), Semarang (Kabupaten Semarang-Ungaran), Surabaya (Gerbang Kertasusila: Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan), Makassar (Maminasata: Makassar, Sungguminasa, Maros, Takalar) merupakan kawasan yang menjadi tujuan para perempuan lulusan SLTP-SLTA untuk mencari upah. Sedangkan di sektor jasa menyerap perempuan dari lulusan SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dari pekerja rumah tangga, sales promotion girls (SPG), pekerja seks, penjaga toko, sampai jurnalis, dosen, dokter, staf NGO, dll, merupakan lapangan kerja yang terbesar menyerap tenaga kerja saat ini. Adapun di sektor pertambangan yang merupakan “dunia laki-laki” jumlah buruh pertambangan tidak sebanyak di sektor jasa, manufaktur dan perkebunan. Di sektor perkebunan, yang tidak memerlukan tenaga kerja berijazah dan melek huruf, merupakan andalan bagi perempuan buta huruf dan putus sekolah untuk mengais upah di sana.
Sebagai tenaga kerja upahan, para perempuan menghadapi masalah politik perburuhan, di mana UU Ketenagakerjaan multi-tafsir terhadap hak buruh perempuan. Dari segi status ketenagakerjaan, saat ini buruh/pekerja menghadapi outsourcing, sistem kerja kontrak, sistem putting-out (kerja rumahan), di mana buruh/pekerja tidak mempunyai jaminan pasti tentang kerja. Dari segi fasilitas, tidak ada fasilitas bagi tenaga kerja yang sedang menunaikan fungsi reproduksi seperti haid, hamil, melahirkan, menyusui. Dari segi diskriminasi, masih banyak perusahaan yang mendiskriminasi tenagakerja yang sudah menikah, yang upahnya hanya dihargai dalam statusnya sebagai lajang, rentan diPHK dan kesempatan kerja agak tertutup baginya. Diskriminasi ini mengasumsikan bahwa perempuan yang telah menikah dipandang tidak produksi karena mempunyai fungsi reproduksi biologis. Bagi tenaga kerja yang lintas negara mengalami pemerasan dan UU Ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat menjadi dasar perlindungan.
Selain masalah politik perburuhan, tenaga kerja perempuan terancam kekerasan seksual di tempat kerja dan di dalam transportasi dari rumah menuju tempat kerja. Ini tidak saja dialami oleh buruh migran, namun semua buruh di semua sektor, dari “kerah biru” sampai “kerah putih”. Sebab tenaga kerja perempuan adalah sumber akumulasi kapital yang menyumbang 70% ekonomi global.
Perkawinan. Siapa bilang perempuan di abad milenium sudah bebas dari masalah politik perkawinan? Perkawinan anak-anak atas alasan ekonomi maupun karena hamil di Indonesia sebesar 13,40% (sumber BPS, 2009), berkisar pada usia 10-15 tahun, tertinggi di Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Kepulauan Babel. Perkawinan kontrak, karena alasan ekonomis dan sebagai jalan keluar dari masalah pengangguran perempuan, terdapat banyak di Jawa Barat, Kalimantan Barat, NTB. Perkawinan siri' yang erat kaitannya dengan poliginis (laki-laki yang beristeri lebih dari satu) pun banyak kita jumpai dari kalangan rakyat pekerja sampai politisi. Perkawinan beda agama, merupakan fakta yang makin terlarang dan didukung oleh negara. Poligami yang dahulu ditentang oleh Kartini sampai sekarang tetap merupakan ceritera keseharian yang hidup dalam masyarakat kita dan dijamin oleh negara.
Problem dalam fakta perkawinan seperti itu lebih banyak mengisahkan tragedi bagi perempuan. Perkawinan kontrak, siri', perkawinan anak-anak, perkawinan beda agama, tidak dilindungi oleh UU Perkawinan. Sebaliknya, poligini justru dilindungi ole UU Perkawinan. Substansi UU Perkawinan saat ini justru mundur dibanding dengan naskah pertama yang disusun oleh Ibu Sumari (dari Wanita Demokrat – ormas perempuan PNI) dan Ibu Umi Sardjono (Ketua Dewan Pimpinan Pusat Gerwani) namun yang mengalami penghambatan dalam proses di parlemen. UU Perkawinan yang saat ini adalah produk dari masa awal pemerintahan Orde Baru, yang menghilangkan susbtansi larangan poligini. Saat ini organisasi-organissi perempuan kembali mengintervensi revisi UU Perkawinan, agar bersikap adil dalam melindungi perempuan.
Problem politik perkawinan erat kaitannya dengan fundamentalisme agama di Indonesia dan krisis ekonomi global.
Kesehatan Reproduksi. Di masa Kartini, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi belum dikenal, sekali pun faktanya dijumpai di kalangan perempuan. Bahkan, dalam statement Aliansi Jurnalis Independent, menyatakan bahwa Kartini meninggal setelah melahirkan adalah karena menderita kesehatan reproduksi yang buruk.
Beberapa masalah di dalam kesehatan reproduksi meliputi, penyakit organ reproduksi, politik seksual dan reproduksi, angka kematian ibu (saat melahirkan).
Penyakit organ reproduksi yang saat ini mematikan perempuan adalah kanker, infeksi menular seksual (biasanya karena suami/pacarnya bebas berpasangan seksual), HIV/AIDS.
Sedangkan politik seksual reproduksi berkaitan dengan perlindungan kesehatan reproduksi di di tempat kerja. Perempuan jurnalis, bank, pekerja seksual, sampai dengan pekerja rumah tangga, buruh migrant dan buruh pabrik, pada prinispnya masih harus bekerja keras untuk memperjuangan hak reproduksi di tempat kerjanya. Sistem kerja yang mobile bagi jurnalis perempuan, cara kerja yang harus berdiri atau duduk bagi buruh pabrik, dari spek keselamatan kesehatan reproduksi masih jauh dipenuhi oleh perusahaan, dan tidak secara tegas dijamin oleh UU Ketenagakerjaan. Jaminan sosial bagi kesehatan reproduksi tenaga kerja perempuan pada dasarnya masih jauh panggang dari api.
Sedangkan angka kematian ibu saat ini masih mencapai 228 per 100.000 kelahiran, suatu angka yang terbilang tinggi. Ada banyak factor penyebabnya, antara lain kualitas hidup yang menurun, kurangnya pelayan kesehatan dan privatisasi institusi kesehatan. Sertifikasi pelayan kesehatan menyebabkan dukun beranak dan bidan desa dilarang menolong persalinan, sedangkan untuk memperoleh sertifikat itu harus ditebus dengan beaya mahal. Privatisasi institusi kesehatan menyebabkan biaya persalinan jadi mahal dan tak sanggup dijangkau oleh ibu-ibu rakyat pekerja.
Problem politik kesehatan reproduksi perempuan ini erat kaitannya dengan privatisasi dan komersialisasi kesehatan.
***
Deskripsi kualitatif kondisi perempuan setelah seabad lebih dari yang digugat Kartini tersebut mendorong Barisan Perempuan Indonesia untuk terus menerus memprogandakan situasi krisis yang dihadapi perempuan di Indonesia. Adagium saat ini bahwa perempuan Indonesia telah mengalami kemajuan, atas indikator: telah bisa sekolah, telah bisa bekerja, telah bebas menentukan perkawinan dan mempunyai dua orang anak yang sehat-sehat, adalah kebohongan rezim kapitalis dan borjuasi yang memimpin negara ini.
Oleh sebab itu kami mengudang pekerja media massa dan perempuan di Jakarta untuk bergabung dan mendukung “Aksi Kartini Menggugat Krisis” yang diselenggarakan Barisan Perempuan Indonesia pada Kamis, 21 April 2011, pukul 10.00 – 13.00, di depan Patung Kuda (depan Indosat) lalu berbaris sampai di depan Istana Negara untuk menyelenggarakan upacara menggugat kebohongan negara terhadap perempuan.***
Jakarta, 20 April 2011
Barisan Perempuan Indonesia (BPI)
Karena itu, sangatlah tidak signifikan memperingati Hari Kartini dengan mengenakan kebaya dan lomba-lomba fashion sebagaimana selama ini menjadi kebiasaan di sekolah-sekolah. Institusi pendidikan, sebagai sarana reproduksi pengetahuan sejarah dan realitas sosial, sudah saatnya mengubah mindset dalam menjelaskan kepada peserta didik mengenai kondisi sosial perempuan saat ini. Kita tahu, dari bangku pendidikan, proses melek pengetahuan dan kesadaran perempuan harus di mulai, sebagaimana pandangan Kartini saat itu.
Pendidikan. Namun, di abad milenium saat ini masih terdapat 5,3 juta perempuan buta huruf di Indonesia. Di Kabupaten Bandung, contohnya, masih dijumpai anak remaja yang buta huruf. Mereka yang buta huruf tersebut mengalami kesulitan untuk melamar pekerjaan karena tidak tidak bisa baca tulis, tidak mempunyai ijazah dan pada akhirnya seringkali menjadi korban penipuan calo-calo tenaga kerja. Buta huruf di tengah pendidikan dasar di Indonesia dinyatakan gratis, adalah merupakan tragedi bagi kita. Yang sempat mengikuti pendidikan dasar pun ada banyak yang putus sekolah, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Buta huruf dan putus sekolah banyak terjadi di kalangan rakyat pekerja dengan upah harian tidak lebih dari Rp 20.000,-Sedangkan bagi perempuan yang beruntung mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi menghadapi implikasi dari penerapan UU BHP, yakni privatisasi pendidikan, yang mahal di beaya namun rendah di mutu pendidikan.
Privatisasi pendidikan dan komersialisasi dalam segala bentuk di dalamnya merupakan ancaman yang akan menciptakan tragedi iliterasi (buta pengetahuan) di Indonesia.
Pekerjaan. Baik perempuan yang buta huruf, putus sekolah, lulus sekolah, pada akhirnya harus memasuki lapangan kerja. Perempuan harus bekerja, karena sebuah rumah tangga saat ini tidak mungkin hanya dipenuhi nafkahnya dari suami –yang selalu diakui sebagai kepala keluarga. Pekerjaan perempuan meliputi segala sesuatu yang dapat menghasilkan uang tunai, mulai dari pekerjaan ekonomi upahan, meramu bahan makanan dari alam (food gathering), berjualan.
Pekerjaan ekonomi upahan memobilisasi perempuan untuk memasuki industrialisasi manufaktur, jasa, perkebunan dan sedikit di sektor pertambangan, yang lintas geografi dan yuridiksi negara.
Industri manufaktur, yang terdiri dari garmen, tekstil, elektronik, sepatu, dll, yang padat karta banyak menyerap tenaga kerja perempuan. Kawasan industri ini yang dibangun sejak 1970-an di Medan, Jakarta (Jabodetabek-Karawang-Subang), Semarang (Kabupaten Semarang-Ungaran), Surabaya (Gerbang Kertasusila: Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan), Makassar (Maminasata: Makassar, Sungguminasa, Maros, Takalar) merupakan kawasan yang menjadi tujuan para perempuan lulusan SLTP-SLTA untuk mencari upah. Sedangkan di sektor jasa menyerap perempuan dari lulusan SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dari pekerja rumah tangga, sales promotion girls (SPG), pekerja seks, penjaga toko, sampai jurnalis, dosen, dokter, staf NGO, dll, merupakan lapangan kerja yang terbesar menyerap tenaga kerja saat ini. Adapun di sektor pertambangan yang merupakan “dunia laki-laki” jumlah buruh pertambangan tidak sebanyak di sektor jasa, manufaktur dan perkebunan. Di sektor perkebunan, yang tidak memerlukan tenaga kerja berijazah dan melek huruf, merupakan andalan bagi perempuan buta huruf dan putus sekolah untuk mengais upah di sana.
Sebagai tenaga kerja upahan, para perempuan menghadapi masalah politik perburuhan, di mana UU Ketenagakerjaan multi-tafsir terhadap hak buruh perempuan. Dari segi status ketenagakerjaan, saat ini buruh/pekerja menghadapi outsourcing, sistem kerja kontrak, sistem putting-out (kerja rumahan), di mana buruh/pekerja tidak mempunyai jaminan pasti tentang kerja. Dari segi fasilitas, tidak ada fasilitas bagi tenaga kerja yang sedang menunaikan fungsi reproduksi seperti haid, hamil, melahirkan, menyusui. Dari segi diskriminasi, masih banyak perusahaan yang mendiskriminasi tenagakerja yang sudah menikah, yang upahnya hanya dihargai dalam statusnya sebagai lajang, rentan diPHK dan kesempatan kerja agak tertutup baginya. Diskriminasi ini mengasumsikan bahwa perempuan yang telah menikah dipandang tidak produksi karena mempunyai fungsi reproduksi biologis. Bagi tenaga kerja yang lintas negara mengalami pemerasan dan UU Ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat menjadi dasar perlindungan.
Selain masalah politik perburuhan, tenaga kerja perempuan terancam kekerasan seksual di tempat kerja dan di dalam transportasi dari rumah menuju tempat kerja. Ini tidak saja dialami oleh buruh migran, namun semua buruh di semua sektor, dari “kerah biru” sampai “kerah putih”. Sebab tenaga kerja perempuan adalah sumber akumulasi kapital yang menyumbang 70% ekonomi global.
Perkawinan. Siapa bilang perempuan di abad milenium sudah bebas dari masalah politik perkawinan? Perkawinan anak-anak atas alasan ekonomi maupun karena hamil di Indonesia sebesar 13,40% (sumber BPS, 2009), berkisar pada usia 10-15 tahun, tertinggi di Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Kepulauan Babel. Perkawinan kontrak, karena alasan ekonomis dan sebagai jalan keluar dari masalah pengangguran perempuan, terdapat banyak di Jawa Barat, Kalimantan Barat, NTB. Perkawinan siri' yang erat kaitannya dengan poliginis (laki-laki yang beristeri lebih dari satu) pun banyak kita jumpai dari kalangan rakyat pekerja sampai politisi. Perkawinan beda agama, merupakan fakta yang makin terlarang dan didukung oleh negara. Poligami yang dahulu ditentang oleh Kartini sampai sekarang tetap merupakan ceritera keseharian yang hidup dalam masyarakat kita dan dijamin oleh negara.
Problem dalam fakta perkawinan seperti itu lebih banyak mengisahkan tragedi bagi perempuan. Perkawinan kontrak, siri', perkawinan anak-anak, perkawinan beda agama, tidak dilindungi oleh UU Perkawinan. Sebaliknya, poligini justru dilindungi ole UU Perkawinan. Substansi UU Perkawinan saat ini justru mundur dibanding dengan naskah pertama yang disusun oleh Ibu Sumari (dari Wanita Demokrat – ormas perempuan PNI) dan Ibu Umi Sardjono (Ketua Dewan Pimpinan Pusat Gerwani) namun yang mengalami penghambatan dalam proses di parlemen. UU Perkawinan yang saat ini adalah produk dari masa awal pemerintahan Orde Baru, yang menghilangkan susbtansi larangan poligini. Saat ini organisasi-organissi perempuan kembali mengintervensi revisi UU Perkawinan, agar bersikap adil dalam melindungi perempuan.
Problem politik perkawinan erat kaitannya dengan fundamentalisme agama di Indonesia dan krisis ekonomi global.
Kesehatan Reproduksi. Di masa Kartini, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi belum dikenal, sekali pun faktanya dijumpai di kalangan perempuan. Bahkan, dalam statement Aliansi Jurnalis Independent, menyatakan bahwa Kartini meninggal setelah melahirkan adalah karena menderita kesehatan reproduksi yang buruk.
Beberapa masalah di dalam kesehatan reproduksi meliputi, penyakit organ reproduksi, politik seksual dan reproduksi, angka kematian ibu (saat melahirkan).
Penyakit organ reproduksi yang saat ini mematikan perempuan adalah kanker, infeksi menular seksual (biasanya karena suami/pacarnya bebas berpasangan seksual), HIV/AIDS.
Sedangkan politik seksual reproduksi berkaitan dengan perlindungan kesehatan reproduksi di di tempat kerja. Perempuan jurnalis, bank, pekerja seksual, sampai dengan pekerja rumah tangga, buruh migrant dan buruh pabrik, pada prinispnya masih harus bekerja keras untuk memperjuangan hak reproduksi di tempat kerjanya. Sistem kerja yang mobile bagi jurnalis perempuan, cara kerja yang harus berdiri atau duduk bagi buruh pabrik, dari spek keselamatan kesehatan reproduksi masih jauh dipenuhi oleh perusahaan, dan tidak secara tegas dijamin oleh UU Ketenagakerjaan. Jaminan sosial bagi kesehatan reproduksi tenaga kerja perempuan pada dasarnya masih jauh panggang dari api.
Sedangkan angka kematian ibu saat ini masih mencapai 228 per 100.000 kelahiran, suatu angka yang terbilang tinggi. Ada banyak factor penyebabnya, antara lain kualitas hidup yang menurun, kurangnya pelayan kesehatan dan privatisasi institusi kesehatan. Sertifikasi pelayan kesehatan menyebabkan dukun beranak dan bidan desa dilarang menolong persalinan, sedangkan untuk memperoleh sertifikat itu harus ditebus dengan beaya mahal. Privatisasi institusi kesehatan menyebabkan biaya persalinan jadi mahal dan tak sanggup dijangkau oleh ibu-ibu rakyat pekerja.
Problem politik kesehatan reproduksi perempuan ini erat kaitannya dengan privatisasi dan komersialisasi kesehatan.
***
Deskripsi kualitatif kondisi perempuan setelah seabad lebih dari yang digugat Kartini tersebut mendorong Barisan Perempuan Indonesia untuk terus menerus memprogandakan situasi krisis yang dihadapi perempuan di Indonesia. Adagium saat ini bahwa perempuan Indonesia telah mengalami kemajuan, atas indikator: telah bisa sekolah, telah bisa bekerja, telah bebas menentukan perkawinan dan mempunyai dua orang anak yang sehat-sehat, adalah kebohongan rezim kapitalis dan borjuasi yang memimpin negara ini.
Oleh sebab itu kami mengudang pekerja media massa dan perempuan di Jakarta untuk bergabung dan mendukung “Aksi Kartini Menggugat Krisis” yang diselenggarakan Barisan Perempuan Indonesia pada Kamis, 21 April 2011, pukul 10.00 – 13.00, di depan Patung Kuda (depan Indosat) lalu berbaris sampai di depan Istana Negara untuk menyelenggarakan upacara menggugat kebohongan negara terhadap perempuan.***
Jakarta, 20 April 2011
Barisan Perempuan Indonesia (BPI)
Kartini Menggugat Krisis
Reviewed by BUMI ANOA
on
6:22 AM
Rating:
No comments: