Kamus Online

Dikejar Tsunami dari Aceh hingga Jepang

Bencana Gempa dan Tsunami Aceh, 26 Desember 2004, Kisah Kelam di Ujung Tahun.

26 Desember 2004…..
Gempa bumi tektonik berkekuatan 8,5 SR berpusat di Samudra India (2,9 LU dan 95,6 BT di kedalaman 20 km (di laut berjarak sekitar 149 km selatan kota Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam). Gempa itu disertai gelombang pasang (Tsunami) yang menyapu beberapa wilayah lepas pantai di Indonesia (Aceh dan Sumatera Utara), Sri Langka, India, Bangladesh, Malaysia, Maladewa dan Thailand.
Menurut Koordinator Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jan Egeland, jumlah korban tewas akibat badai tsunami di 13 negara (hingga minggu 2/1) mencapai 127.672 orang. Namun jumlah korban tewas di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur yang sebenarnya tidak akan pernah bisa diketahui, diperkirakan sedikitnya 150.000 orang. PBB memperkirakan sebagian besar dari korban tewas tambahan berada di Indonesia. Pasalnya, sebagian besar bantuan kemanusiaan terhambat masuk karena masih banyak daerah yang terisolir.
Sementara itu data jumlah korban tewas di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara menurut Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262 orang. Sedangkan menurut kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami diperkirakan sebanyak 168.183 jiwa dengan korban paling banyak diderita Indonesia, 115.229 (per Minggu 16/1/2005). Sedangkan total luka-luka sebanyak 124.057 orang, diperkirakan 100.000 diantaranya dialami rakyat Aceh dan Sumatera Utara.
Iitulah kisah suram 5 tahun silam yang terjadi di penghujung tahun 2004 silam. Namun, seiring waktu berjalan, segala perbaikan terus berjalan. Setidaknya, begitulah yang terbaca dan terdengar di media massa.
Akan tetapi, ironinya, masih terlihat adanya barak-barak yang berpenghuni, seperti di bantaran sungai Krueng Aceh, yang di kenal dengan Barak Bakoy. Memang kita tidak bisa menduga, apa yang terjadi ? Dengan dana yang melimpah, di dukung oleh sumber daya manusia yang multi culture, high intelegence, tapi semua ini masih terhidang di depan kita. Aneh..
Barak bakoy adalah salah satu bukti dari kisah silam yang masih ada, mungkin juga masih ada bakoy-bakoy lain yang belum sempat penulis tahu.
pict from : http://sekoteng.files.wordpress.com/2009/09/aceh.jpg

Gempah terjadi lagi di Jepang
Oleh: Ahmad Arif
Zahrul Fuadi (39) serta keluarganya harus mengalami gempa dan tsunami terdahsyat dalam catatan sejarah dua kali dalam hidup. Ia nyaris menjadi korban gempa dan tsunami yang menerjang Aceh, 26 Desember 2004, lalu kini mengalami gempa dan tsunami yang melanda Jepang pada Jumat (11/3). ”Kami dikejar tsunami dari Aceh hingga Jepang,” katanya.
Saat tsunami menerjang Aceh, Zahrul dan keluarganya selamat setelah melarikan diri dengan sepeda motor.
”Waktu itu beruntung, setelah gempa, kami pergi naik sepeda motor. Dengan demikian, saat tsunami datang, kami bisa pergi lebih cepat dibandingkan orang-orang Aceh lainnya,” paparnya. Namun, rumah dan segenap isinya di Simpang Mesra, Lamgugop, Banda Aceh, rusak diterjang tsunami. Mereka pun harus menjadi pengungsi.
Setahun setelah bencana Aceh, pengajar Teknik Mesin di Universitas Syah Kuala ini mendapatkan beasiswa doktoral dari Tohoku University, Sendai, Jepang. Ia pun memboyong istrinya, Dewi Karyani, dan anak-anaknya ke Jepang. ”Saya sudah enam tahun ini di Jepang dan sebenarnya sudah mau kembali ke Aceh. Tetapi, ternyata harus mengalami kembali bencana gempa besar lagi,” kata Zahrul, yang kini mengambil program pascadoktoral.
Begitu gempa menggoyang Jepang, Zahrul tengah presentasi di lantai tiga kampusnya, Tohoku University. ”Goyangannya keras sekali. Semua yang di ruangan langsung ke bawah meja,” ujarnya.
Mahasiswa program pascadoktoral ini pun langsung teringat kenangan pahit di Aceh. Ia mengatakan, ”Di Jepang sering mengalami gempa, tetapi gempa Jumat lalu beda. Rasanya mengayun lama dan sangat kuat, sekitar 2 menit, sama dengan yang saya rasakan di Aceh waktu itu. Saya langsung terpikir, pasti terjadi tsunami.”
Dan, tsunami benar terjadi. Beruntung tsunami tak menjangkau kampusnya yang berjarak sekitar 15 kilometer dari laut dan posisinya cukup tinggi. Namun, Zahrul tetap harus meninggalkan Sendai dan kembali menjadi pengungsi. Kota Sendai, yang paling dekat dengan titik pusat gempa, nyaris lumpuh. Zahrul dievakuasi Tim Bantuan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan kini bersiap-siap pulang ke Indonesia. ”Sebenarnya berat meninggalkan Jepang karena anak-anak sedang banyak tugas di sekolah. Demikian juga saya,” paparnya.
Namun, Zahrul tidak memiliki banyak pilihan. ”Kami harus banyak bersyukur karena masih selamat dari dua bencana terbesar yang pernah tercatat sejarah,” ungkapnya.
Dikejar air
Kedahsyatan tsunami di Jepang, Jumat siang itu, dirasakan betul oleh Haryadi Budi Susanto (32), mahasiswa doktoral di Tohoku University. Ketika gempa mengguncang, ia hanya berjarak 2 kilometer dari bibir pantai. Sehari sebelumnya, ia ditelepon sahabatnya, Nanto, nelayan Indonesia yang bekerja untuk kapal pencari ikan Jepang. Keduanya berjanji bertemu di pasar ikan Shiogama, Sendai, Jumat sekitar pukul 16.00.
Sejak setahun terakhir, Haryadi menjalin hubungan baik dengan nelayan Indonesia yang menjadi anak buah kapal di Jepang. Haryadi mencoba membaurkan para nelayan dengan mahasiswa Indonesia. ”Semua anak buah kapal Jepang pencari ikan di Sendai memiliki anak buah kapal dari Indonesia. Satu kapal biasanya tujuh orang, semuanya Indonesia. Hanya kaptennya yang orang Jepang,” katanya.
Setiap merapat, beberapa anak buah kapal itu, salah satunya Nanto, menghubungi Haryadi. ”Nanto merapat ke Shiogama sebulan sekali,” ujarnya.
Pukul 14.00 siang, Haryadi berjalan menuju Shiogama bersama seorang temannya warga Jepang. Namun, tepat di ujung jembatan menuju Shiogama, gempa mengguncang keras. Haryadi terjatuh. Sirene tsunami bergema di mana-mana. Ia memaparkan, ”Saya segera bangkit dan berlari menjauh dari laut. Guncangannya sangat keras dan saya langsung berpikir pasti terjadi tsunami.”
Saat itu suhu di bawah titik nol derajat. Udara dingin. Haryadi berlari di tengah guyuran salju. Sekitar 2 kilometer berlari dari jembatan itu, ia mendengar suara gemuruh air dari arah laut. Tsunami menderu. ”Saya tidak ingat berapa jauh berlari. Namun, setelah sampai rumah, segera membawa anak saya berlari ke arah bukit,” ujarnya.
Selama tiga hari Haryadi dan anaknya serta beberapa tetangga mengungsi di bukit kecil. Tak ada makanan karena pasokan makanan sangat kurang.
Haryadi dan rombongannya bertahan hidup dengan makan seadanya. ”Tidak ada jatah makan di pengungsian. Yang dapat cuma anak anak dan ibu hamil,” tuturnya. Ia pun tak tahu bagaimana nasib Nanto.
Ketika Tim Bantuan KBRI menemukan Haryadi pada Minggu siang, ia langsung mengajak tim ke Shiogama untuk mencari Nanto. Namun, area itu ditutup Pasukan Bela Diri Jepang karena tsunami kembali datang. Kini Haryadi hanya pasrah dan menitipkan nasib kawan-kawannya yang masih tersisa di Sendai pada kesigapan Tim Bantuan KBRI Jepang.
Haryadi bersiap pulang ke Indonesia, ikut rombongan 103 pengungsi Indonesia yang akan dipulangkan ke Jakarta. ”Saya sudah menitipkan tanggung jawab ke Pak Dubes untuk mencari kawan-kawan saya yang barangkali masih di sana,” katanya.
Dubes RI untuk Jepang Muhammad Lutfi berjanji akan berupaya dengan segenap daya untuk mencari orang-orang Indonesia di sana. ”Banyak nelayan Indonesia yang bekerja di Shiogama dan Kesennuma. Kami belum tahu jumlah tepatnya, tetapi kemungkinan cukup banyak,” ujarnya.
Sesuai data terakhir berdasarkan Pusat Krisis Persatuan Pelajar Indonesia dan KBRI Tokyo, total warga negara Indonesia yang belum diketahui keberadaannya 376 orang dari 1.301 orang Indonesia yang terdata di Jepang.
Lutfi mengatakan, masih ada tim KBRI yang bertahan di sekitar Sendai, tetapi medannya memang sangat berat. Ia menambahkan, ”Tadi Mayor Zaenal (Ketua Tim Bantuan KBRI) melaporkan, gempa masih terus terjadi dan banyak area yang masih ditutup.”
Akan tetapi, Lutfi berjanji, ”Kami akan terus mencari warga negara Indonesia sampai orang terakhir.”
Dikejar Tsunami dari Aceh hingga Jepang Dikejar Tsunami dari Aceh hingga Jepang Reviewed by BUMI ANOA on 5:32 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.