Kamus Online

Kebijakan Obama Di Timur Tengah dan Terorisme

 Oleh: Smith Alhadar


FaktaPos.com - Terpilihnya Barack Husein Obama menjadi presiden Amerika Serikat (AS) yang ke-44 “menggemparkan” dunia. Inilah pertama kalinya seorang kulit hitam menjadi presiden AS sepanjang sejarahnya. Paling tidak ada dua faktor utama yang mendorong rakyat AS mendukung Obama. Pertama, rakyat AS telah muak dengan kepemimpin Presiden George Walker Bush yang menebarkan kecemasan di pentas internasional.
Pemerintahan Bush yang didominasi para tokoh hawkish yang menyerang dan menduduki Irak dengan alasan yang dicari-cari bahwa rezim Saddam Hussein menyimpan senjata pembunuh massal, menyiksa dan membunuh rakyat sipil Irak. Selain itu juga membunuh dan menyiksa rakyat Afghanistan bersama orang asing lain yang dituduh menjadi pendukung Al-Qaeda di penjara-penjara rahasia di Eropa dan Guantanamo tanpa pengadilan, serta ketidakbecusan mengurusi ekonomi dalam negeri sehingga menciptakan krisis finansial global.
Kedua, Obama menawarkan gagasan-gagasan baru di berbagai bidang kehidupan bagi rakyat AS dan komunitas internasional untuk mengembalikan kemakmuran, kejayaan, dan otoritas moral AS yang telah dirusak oleh pemerintahan Bush. Obama menganggap struktur ekonomi, sosial, politik, dan militer AS saat ini tidak lagi sesuai dengan situasi dunia abad ke-21.
Perubahan-perubahan signifikan di berbagai bidang itu harus diubah untuk mempertahankan kepemimpinan dunia AS yang konsisten dengan apa yang disebut nilai-nilai AS seperti demokrasi, kebebasan, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Bagaimana mungkin AS bisa mengkhotbahkan nilai-nilai ini ke telinga komunitas internasional kalau AS sendiri justru yang melanggarnya secara kasat mata?
Buku ’Change We Can Believe In’ yang ditulis Obama, berisi detail pemikiran dan kebijakannya di berbagai bidang yang disebutkan di atas, baik di dalam negeri maupun di pentas internasional. Di bidang emimpinan atau kebijakan internasional AS, Obama akan menarik pasukan dari Irak pada tahun ini.
Obama menentang perang di Irak tahun 2002 karena dia percaya bahwa sekalipun Saddam Hussein adalah rezim yang menakutkan, ia tidak memiliki ancaman jangka pendek terhadap AS.
Obama berpendapat AS harus mengakhiri perang dengan Osama bin Laden dan Al-Qaeda. Dia memperingatkan bahwa invasi Irak akan menyalakan ekstrimisme di Timur Tengah dan mengalihkan AS dari perang terhadap mereka yang bertanggung jawab bagi serangan teror 11 September 2001.
Ia juga akan mengakhiri perang terhadap Al-Qaeda dan beralih pada perang terhadap terorisme global. Untuk menghantam terorisme global, Barack Obama akan mendirikan Program Kemitraan Keamanan Bersama dan menginvestasikan dana sebesar US$ 5 miliar.
Program ini termasuk membagi informasi, memberi bantuan keuangan bagi pelatihan, operasi, keamanan perbatasan, program anti-korupsi, teknologi, dan menutup keuangan teroris. Dan upaya ini akan fokus pada memberi pertolongan pada mitra AS tanpa taktik represif, karena brutalitas hanya melahirkan teror, bukan mengalahkannya.
Untuk mendekatkan AS dengan Dunia Arab, Obama meluncurkan upaya diplomasi publik. Ia membuka Lembaga-lembaga AS (America Houses) di kota-kota di seluruh negara Arab yang akan menawarkan program pelatihan bahasa Inggris, pembukaan terhadap budaya dan ide AS, dan menawarkan akses internet yang bebas serta program yang lunak, yang mempromosikan pertukaran langsung dengan orang-orang Amerika.
Pemerintahan Obama juga menggulirkan Korps Suara Amerika yang baru untuk dengan cepat merekrut dan melatih para pemakai bahasa lokal yang fasih (bahasa Arab, Melayu, Farsi, Urdu, dan Turki) dengan keterampilan diplomasi publik, yang dapat menjamin suara AS didengar di media massa. Diharapkan inisiatif ini akan memperlihatkan kepada dunia muslim tentang hal terbaik yang ditawarkan AS.
Obama akan memimpin upaya ini dengan contoh dan perbuatan: berbicara di tengah forum Islam yang besar – yang sudah dilakukannya ketika berbicara di Universitas Al-Azhar, Mesir -- untuk membuat jelas bahwa dalam pertempuran yang hebat di dalam Islam, AS akan berpihak pada kelompok mayoritas yang moderat terhadap minoritas yang ekstrim.
Tentu saja pertempuran melawan teroris Islam adalah pertempuran untuk menyelamatkan kepentingan AS dan untuk memikat hati dan pikiran jutaan kaum Muslim yang menolak visi kaum ekstrimis tentang masa depan.
Menurut Obama, untuk memenangi perlombaan ini, AS harus tetap menjadi contoh nilai-nilai universal dan kebebasan. Memahami pendirian, reputasi, dan otoritas AS di dunia -- hal yang penting untuk membalikkan keadaan, yakni kaum moderat akan menentang terorisme – ia akan mengakhiri penggunaan penyiksaan tanpa kecuali.
Gagasan ini memang menarik, tapi apakah Obama benar-benar dapat melakukannya? Sebab selama ini kaum Muslim melihat AS selalu menggunakan standar ganda. Ketika sebuah aksi kaum Muslim yang sesuai dengan ’nilai-nilai AS’ tapi bertentangan dengan kepentingan AS, maka Washington tak segan-segan memingggirkan apa yang disebut nilai-nilai AS itu, untuk membela pihak yang salah tapi klop dengan kepentingan AS.
Contohnya, masalah Israel-Palestina. Palestina adalah pihak yang terjajah oleh Israel selama puluhan tahun. Dan ketika Palestina menuntut haknya untuk merdeka dengan melakukan tindakan apa saja yang dibenarkan oleh hukum internasional untuk mendapatkan haknya, AS justru membela Israel yang selalu menggunakan kekerasan tiada tara terhadap rakyat Palestina.
Toh Obama, sebagaimana pemimpin AS sebelumnya, tetap membela Israel dan itu dibuktikannya ketika Israel melakukan agresi terhadap Palestina di Jalur Gaza dan terus membangun pemukiman Yahudi di tanah Palestina. Ia diam seribu bahasa, bertentangan dengan pengemboman berantai di Mumbai, India, di mana Obama bersuara keras mengecam tindakan teroris itu.
Nanti setelah komunitas internasional berteriak untuk segera menghentikan agresi Israel itu, Obama bersuara dengan hanya mengatakan bahwa dia prihatin dengan situasi di Timur Tengah, tanpa menyalahkan Israel yang jelas-jelas melanggar hukum internasional dan nilai-nilai AS yang dipuji Obama.
Tentang nuklir, Obama berpandangan bahwa hampir selama lima dekade kita khawatir dengan jalan buntu perundingan penghapusan nuklir dengan Uni Soviet. Sekarang kita perlu khawatir dengan lima puluh ton uranium dengan tingkat pengayaan yang tinggi – yang sebagiannya agak terlantar – pada fasilitas nuklir sipil di lebih dari 40 negara.
Katanya kita perlu prihatin tentang hancurnya kerangka non-proliferasi yang dirancang untuk Perang Dingin. Dan lebih dari segalanya, ia menyatakan kita perlu memastikan bahwa negara nakal seperti Iran – atau ilmuwan nuklir mentransfer senjata paling mematikan di dunia kepada orang-orang yang paling berbahaya di dunia. Teroris tidak segan-segan membunuh ribuan orang di mana saja di dunia ini.
Selama sepuluh tahun terakhir, ancaman ini telah tumbuh. Obama menyatakan ia sangat faham tentang ancaman Iran terhadap kepentingan AS dan sekutunya di Timur Tengah: Iran mendukung apa yang disebut AS sebagai kelompok teroris seperti Hamas dan Hizbullah; mengancam pasokan energi, dan memiliki presiden yang tidak hanya menolak keberadaan holocaust, tapi juga mengancam menghapus Israel dari peta dunia.
Kebijakan Bush terhadap Iran, menurutnya, tidak jalan; selama sepuluh tahun Iran menguatkan posisinya, memajukan program nuklirnya, dan menciptakan 150 kilogram uranium dengan tingkat pengayaan rendah dalam tahun 2008 saja. Selain itu, Tehran mengancam akan memicu perlombaan senjata nuklir di kawasan Timur Tengah.
Obama yakin bahwa mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir merupakan kepentingan keamanan nasional AS yang vital. Ini harus dimulai dengan agresif, dasar yang kuat, dan diplomasi langsung, yang didukung sanksi keras. Obama adalah pemimpin dalam upaya ini, mensponsori legislasi yang membolehkan dan mendorong larangan perushaan-perusahaan yang melakukan bisnis dalam sektor energi Iran. Dengan ancaman gawat ini, saatnya AS memainkan peran aktif dan memimpin upaya mencegah Iran menjadi kekuatan nuklir.
Menyangkut masalah program nuklir Iran, ternyata sikap Obama sama dengan Bush. Ia menganggap Iran sebagai negara nakal (rogue state) hanya karena Iran memiliki pendirian sendiri terhadap berbagai hal di pentas internasional yang bertentangan dengan kepentingan AS.
Iran, misalnya, tidak mengakui eksistensi Israel dan mendukung perjuangan Hamas dan Hizbullah, dan mengembangkan program nuklir. Seharusnya Israel-lah yang harus disebut sebagai negara bajingan.
Israel memiliki sekitar 200-300 hululedak nuklir secara ilegal, menduduki tanah Arab selama puluhan tahun, membunuh ribuan rakyat Palestina, mengusir rakyat Palestina dari rumah-rumah mereka, dan menghancurkan infrastruktur dan rumah-rumah orang Palestina. Dan kesemuanya melanggar hukum internasional maupun perjanjian-perjanjian yang dibuat antara Palestina dan Israel.
Sementara itu, tidak pantas menyebut Hamas dan Hizbullah sebagai kelompok teroris. Itu sebabnya kita melihat bahwa tidak semua bangsa dan negara sefaham dengan AS tentang para pejuang kemerdekaan ini. Perjuangan Hamas dan Hizbullah sebagai pihak yang tertindas malah pihak yang harus diberi simpati mengingat hak menentukan nasih sendiri merupakan hak semua bangsa. Karena itu, Iran dan banyak negara lainnya menganggap Hamas dan Hizbullah pantas diberi simpati.
Kontradiksi lain dalam pandangan Obama adalah sikap menuduh Iran sebagai negara yang mengembangkan senjata nuklir, karena itu program nuklirnya harus dihentikan, walaupun otoritas teknis di bidang ini, yakni International Atomic Energy Agency (IAEA), yang mengawasi program nuklir Iran menyatakan bahwa tidak ada indikasi Iran sedang membangun senjata nuklir. Demikian juga pendapat CIA.
Iran mengembangkan senjata nuklir sesuai dengan NPT (Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir) di mana Iran adalah salah satu penandatangannya. Sesuai kesepakatan NPT, negara anggota berhak mengembangkan program nuklir, sepanjang hal itu bertujuan damai.
Melihat pandangan Obama terhadap Timur Tengah sebagaimana yang dibicarakan di atas, nampaknya ia juga akan gagal menciptakan Timur Tengah yang stabil, rukun, dan harmonis, sebagaimana para pendahulunya.
Obama seharusnya tidak berambisi menciptakan PAN Amerikana di Timur Tengah dengan memojokkan kelompok-kelompok yang menginginkan kebebasan seperti Hamas dan Hizbullah dan Iran yang menghendaki independen dari pengaruh negara luar.
Perangai Iran justru harus dilihat dari letak geografis, ideologi, dan aspirasi dalam negeri. Perlakuan yang fair terhadap semua pihak di Timur Tengah justru akan menghasilkan apa yang diharapkan AS, yakni terbangunnya demokrasi dan kebebasan di kawasan ini. Juga dengan sendirinya mengurangi, kalau bukan menghilangkan, gerakan teroris di Timur Tengah. Bukankah terorisme muncul dari kekecewaan lapisan masyarakat tertentu terhadap kebijakan Washington yang diskriminatif di kawasan ini? (Smith Alhadar/ian)
Kebijakan Obama Di Timur Tengah dan Terorisme Kebijakan Obama Di Timur Tengah dan Terorisme Reviewed by BUMI ANOA on 6:19 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.